photo © 2009 Hermitianta Prasetya Putra | more info (via: Wylio)
S ebenarnya saya ragu, tulisan ini akan saya terbitkan atau tidak karena saya sekarang bukan warga Wonogiri. Namun setelah saya renungkan, sebagai orang yang dibesarkan di Kota Gaplek dan mengingat pelestarian budaya, akhirnya saya terbitkan tulisan ini.
Mas Danar Rahmanto, Bupati Wonogiri 2010--2015, mengeluarkan kebijakan menghapus tiga even budaya yang sesungguhnya telah menjadi ikon budaya di Wonogiri. Tiga even budaya yang dihapus tersebut antara lain jamasan, larung ageng dan sedekah bumi.
Saya terkejut! Sungguh.
Dari Solopos.com saya kemudian tahu:
Bupati Wonogiri H Danar Rahmanto menegaskan ‘Kirab dan Jamasan Pusaka’ maupun acara tradisi budaya lainnya akan tetap diadakan pada bulan Sura/Muharam ini. Namun, beberapa bagian ritual dalam acara itu yang dinilai berbau syirik diminta untuk dihilangkan.
Tak hanya itu, meski mengizinkan, Danar menegaskan Pemkab tetap tidak akan memfasilitasinya sebagai bagian dari agenda resmi, tidak akan memberikan dukungan penuh, baik dari sisi anggaran maupun keterlibatan personel seperti sebelumnya. Acara jamasan itu juga diminta agar dikemas ulang dengan menghilangkan hal-hal yang dinilai berbau syirik seperti membakar kemenyan, memakai wangi-wangian atau ritual tertentu.(Solopos)
Lho...???? Tetap diadakan, tetapi tidak difasilitasi? Lalu bentuk pengadaannya seperti apa? Dilaksanakan oleh masyarakat sendiri dengan dana sendiri? Bukankan Pemerintah harus mampu memfasilitasi serta mengakomodasi kebutuhan masyarakat dalam upaya melestarikan seni budaya tradisi yang tumbuh, berkembang dan menjadi bagian dari masyarakat?
Dalam Peraturan Bersama Mendagri dan Menbudpar No. 42 Th. 2009 dan No. 40 Thn. 2009, Pemerintah daerah wajib melaksanakan pelestarian kebudayaan di daerah. Pelestarian kebudayaan dilakukan melalui perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan. Apa maksudnya?
- Perlindungan adalah upaya pencegahan dan penanggulangan yang dapat menimbulkan kerusakan, kerugian, atau kepunahan kebudayaan berupa gagasan, perilaku, dan karya budaya termasuk harkat dan martabat serta hak budaya yang diakibatkan oleh perbuatan manusia ataupun proses alam.
- Pengembangan adalah upaya dalam berkarya, yang memungkinkan terjadinya penyempurnaan gagasan, perilaku, dan karya budaya berupa perubahan, penambahan, atau penggantian sesuai tata dan norma yang berlaku pada komunitas pemiliknya tanpa mengorbankan keasliannya.
- Pemanfaatan adalah upaya penggunaan karya budaya untuk kepentingan pendidikan, agama, sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan itu sendiri.
Pemerintah kabupaten/kota dalam melaksanakan pelestarian kebudayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berkewajiban:Dengan demikian, kebijakan untuk tidak memfasilitasi even budaya yang sudah ada, merupakan pengelakan Pemerintah Daerah terhadap kewajiban melestarikan budaya.Kalau toh ada yang perlu diubah dalam sebuah kegiatan kebudayaan karena bertentangan dengan norma tertentu (agama, misalnya), itu bisa dilakukan dengan salah satu dari jalur pelestarian, yaitu pengembangan. Namun kegiatan pengembangan kebudayaan tersebut juga harus mengacu pasal 11:
a. berpedoman pada kebijakan nasional dan provinsi di bidang pelestarian kebudayaan;
b. menyusun Peraturan Daerah tentang Rencana Induk Pelestarian Kebudayaan Daerah;
c. menumbuhkembangkan partisipasi dan kreatifitas masyarakat berasaskan kegotongroyongan, kemandirian, dan keadilan;
d. memupuk solidaritas hubungan bangsa dalam ikatan semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika” secara nyata dan terukur untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis, saling menghargai, dan menghormati;
e. mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di kabupaten/kota; dan
f. mengoordinasikan kecamatan, kelurahan atau desa dalam penyelenggaraan pelestarian kebudayaan di daerah.
Kebijakan menghapus even budaya dari agenda Pemkab Wonogiri ini konon sebagai tindak lanjut kontrak politik dengan partai pendukung saat pencalonan Bupati. Kontrak politik memang sebuah cara untuk menunjukkan kesungguhan dalam bekerja dan dapat dijadikan indikator kinerja. Kontrak politik tidak ubahnya kesepakatan pihak-pihak yang berkontrak atas sebuah program atau capaian yang akan dihasilkan.
- Kegiatan pengembangan kebudayaan selain memperhatikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) juga wajib mempertahankan akar budaya yang dimiliki dan tidak dimaksudkan untuk mengganti unsur-unsur budaya yang sudah ada.
- Kegiatan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang mengakibatkan terjadinya kerusakan, kehilangan, atau kemusnahan aspek kebudayaan harus didahului dengan penelitian.
- Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh instansi pemerintah, dan/atau perorangan, lembaga swasta, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat yang memiliki kompetensi dan kewenangan sesuai peraturan perundang-undangan.
Nha.... disinilah intinya!
Karena kontrak politik adalah sebuah program atau target, maka selayaknya sebelum pemilu dilaksanakan, isi kontrak politik antara parpol dan calon bupati diumumkan, bahkan diusung dalam kampanye sebagai salah satu nilai jual. Jikalau salah satu isi kontrak politik dirahasiakan dan baru dibuka setelah calon jadi, maka bukan tidak mungkin menimbulkan kekecewaan paa pemilih. Ini pula yang terjadi di Wonogiri. Saya yakin, ada (mungkin banyak) pemilih yang kecewa akan pilihannya, hanya karena tidak tahu ada klausul kontrak politik yang tidak sesuai dengan keinginannya.
benarkah kita memilih karena sungguh tertarik dengan program2nya?
Setidaknya jika kita tahu ada program yang (benar2) tidak kita sukai, pasti tidak kita pilih.
setuju dengan panjenengan mas eko...kebudayaan adalah salah satu pembentuk karakter masyarakat..jadi harus di kembangkan dan di fasilitasi..itulah salah satu tugas pemerintah.
Makasih mas mul....
yang jelas, jd berkurang even makan2 :'(
salam, rumah baru juga ya?? Keren
Jenengan ki ana-ana ae Pak, mosok kontrak politik tidak boleh dirahasiakan. Kalau memang harus disampaikan kepada masyarakat luas bisa-bisa malah dibuat sebagai senjata lawan untuk menyerang.
Harusnya memang disampaiakan sebagai pertimbangan kita memilih pemimpin, tapi siapa sih yang mau beresiko?, mending meneng-menengan wae Pak, kalau sudah jadi dan membuat kecewa paling kita hanya bisa nggrundel dan ngrasani hahaha...
Maturnuwun Pak... :)
jiah... mulai ki...... asik wis mulai ON....
Pojok: jadi kelaparan...
andinoeg: trimakasih
P Kadi: Hahaha... Ini salah satu grundelannya ya...
Om iyok: xixixix...
dalam budaya di daerah mana pun, selalu ada nilai kearifan lokalnya, pakeko. ada nilai2 filosofis yang tak gampang dihilangkan kalau ada ritual tertentu yang dihapus, karena sudah menjadi bagian sistemik di dalamnya.
bisa-bisa kehilangan ciri khas daerah kalau memang kebudayaan itu dihilangkan atau dipersulit seperti tidak memberikan fasilitas misalnya. Memang kalau masalah politik seperti ini penuh dengan permainan, makanya dari dulu saya sendiri tidak minat dengan politik Pak Eko.. haha..
Pak wali: Setuju sekali!
Sisilain: Apakah selamanya politik itu kejam... (nyanyi)
"Karena kontrak politik adalah sebuah program atau target, maka selayaknya sebelum pemilu dilaksanakan, isi kontrak politik antara parpol dan calon bupati diumumkan, bahkan diusung dalam kampanye sebagai salah satu nilai jual."
setuju banget nih ama yang ini, makanya beli rumah sendiri, jangan asal ngontrak... hhe
wahahaha....
wah pembahasan ini berat sekali
Memang berat mas kalau budaya dicampur dengan politik.
@pakeko: kalau budaya dicampur politik jadinya politik berbudaya ha.ha.ha
Nuwun
Membudayakan politik dan memolitikkan budaya
Oh, ternyata begitu... :(
sumpah!!!
membaca postingan ini, saya jadi ingat tulisan saya diblog yang berjudul Serat Darmo Gandhul, Kisah Sang Pemburu Hantu.